Eksistensialisme Vs Perenialisme: Analisis dan Kritik atas Kurikulum dan Peran Guru dalam Proses Pendidikan

 

Eksitensialisme VS Perenialisme

Eksistensialisme Vs Perenialisme: Analisis dan Kritik atas Kurikulum dan Peran Guru dalam Proses Pendidikan

Konsep pendidikan eksistensialis 

Konsep pendidikan eksistensialis adalah kebebasan manusia. Individu yang bebas dan kreatif dalam memilih. Jika pendidikan harus sungguh-sungguh dilakukan manusia, maka harus dapat membangkitkan kesadaran pembelajar. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi personal yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri. 

Manusia adalah pencipta esensi dirinya.Siswa juga sadar akan tanggung jawabnya untuk menentukan kehidupan yang akan dijalani sendiri dan menciptakan definisi dirinya sendiri. Siswa dilihat sebagai individu, dan belajar seyogyanya disesuaikan dengan kecepatan siswa dan siswa mengarahkan belajar untuk kepentingan dirinya sendiri.

Tujuan pendidikan menurut Eksistensialisme

Tujuan pendidikan menurut Eksistensialisme adalah untuk memproses perubahan tingkah laku dalam menyesuaikan diri, yait penyesuaian terhadap masa depan yang tidak menentu, yang selalu dalam keadaan krisis dan perubahan di segala bidang kehidupan. Kurikulum dalam pendidikan eksitensialisme adalah  kurikulum yang memberi siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan mereka sendiri. 

Siswa sebagai aktor dalam perspektif eksistensialisme

Eksitensialisme menempatkan siswa sebagai aktor yang memberikan makna pada subjek yang ia apropriasi, yaitu dengan memasukkannya kedalam dirinya sendiri dan menafsirkannya sesuai dengan proyeknya sendiri. Eksistensialisme terdapat dua wahana interpretasi, yang mencakup unsur kognitif dan normatif. Mata pelajaran sekolah seperti sejarah, literatur, matematika dan sains berperan sebagai kerangka ilmu dan sumber informasi yang digunakan untuk realisasi subjektivitas.




Peran guru untuk menstimulasi “intesnitas kesadaran” siswa

Tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya (Gutek, 1974)Peran guru untuk menstimulasi “intensitas kesadaran” siswa dengan mendorong pencarian kebenaran pribadi melalui pengajuan pertanyaan tentang makna kehidupan. Guru terbaik bagi anak-anak adalah rumah dan orang tua mereka, karena di rumahlah seorang anak diterima sepenuhnya apapun kelemahan mentalnya dan kelainan fisiknya, dia tetaplah anak merak dan sama-sam dicintai seperti saudaranya yang cerdas. 

Guru harus menjadi konselor dan pembimbing.

Guru hendaknya bisa memposisikan diri sebagai orangtua dalam hal menerima keunikan individu yang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Siswa adalah individu yang berkembang dengan segala potensi yang dimilikinya. Tugas guru adalah membantu siswa merealisasikan potensinya, menemukan dirinya, dan bagaimana bisa mencapai hal tersebut. Guru harus menjadi konselor dan pembimbing.

Tujuan akhir guru adalah membuat siswa independen dan mandiri, mampu membuat keputusan sendiri dan cukup berani untuk menindakinya dan menerima tanggung jawab penuh atas keputusan tersebut. Guru hendaknya mengetahui satu persatu murid yang diajarnya, misal dalam kelas ada 35 siswa, maka guru harus hafal nama-namanya dan mengetahui keunikan masing-masing siswa. Guru tidak boleh melihat siswa dari kemampuan akademik siswa saja (Akinpelu, 1988).

Konsep penting eksistensialis

Konsep penting eksistensialis terkait dengan peran guru adalah hendaknya guru mengizinkan kebebasan berpendapat dan berdiskusi dalam kelas, karena mengetahui sesuatu menurut pandangannya sendiri, yang didasarkan pada pengalaman yang unggul dan pengetahuan yang lebih luas akan membawa lebih banyak beban bagi guru. Siswa bisa mencoba berbagai kebebasan berekspresi, guru yang bertugas untuk membuat atmosfer kelas yang toleran dan tanpa rasa takut untuk menyampaikan pendapat. 




Guru harus berkomitmen untuk membuat siswa sukses

Pada akhirnya, guru harus terlibat secara langsung dalam kehidupan siswa untuk mendiskusikan kegembiraan dan kesedihan mereka, serta harapan dan aspirasi mereka. Guru mencintai dan menghormati siswa sebagai individu. Guru harus berkomitmen untuk membuat siswa sukses dalam menemukan dirinya, merealisasikan potensinya, menjadi pribadi yang mandiri dan otonom. 

Guru harus menunjukkan perhatian dan keseriusannya, serta mempunyai rasa tanggung jawab yang besar bahwa kenyataannya mendidik itu membimbing kehidupan generasi yang akan datang dan menentukan nasib orang lain. (Akinpelu, 1988)

Eksitensialisme VS Perenialisme

Anak adalah makhluk yang monodualis (dwitunggal) dan monopluralis

Penerapan dalam pendidikan Filsafat perenial dalam pendidikan, anak harus dipandang sebagai keseluruhan yang holistik. Sesuai dengan hakikat manusia, anak adalah makhluk yang monodualis (dwitunggal) dan monopluralis. Sebagai makhluk monodualis, terdiri dari jiwa yang me-raga dan raga yang men-jiwa, keduanya harus ditumbuhkembangkan secara serasi, selaras, dan seimbang hingga menjadi manusia berbudaya yang harmonis. 

Baca Juga: Arah Baru Mengemas Gaya Filsafat

Pendidikan harus menumbuhkan jasmani anak didik sesuai dengan tingkat kesiapnnya. Kurikulum pendidikan harus mencakup juga pendidikan jasmani (keterampilan, kesehatan), dan pendidikan nilai (moral, agama, karaakter), selain pendidikan intelektual. Sebagai makhluk monopluralis, yang terdiri atas berbagai aspek (ranah, domain), yaitu: kognitif, afektif (emotif dan konatif), dan psikomotorik, harus ditumbuhkembangkan sebagai keseluruhan yang holistik pula bukan pendidikan yang parsial-fragmentaris atau pun mekanik-fungsionalistik. 

Multiple Intlegensi

Selain hal itu, perlu pula dihindari pendidikan yang sepihak, yang menekankan atau menitik-beratkan pada ranah tertóentu saja, misalnya pendidikan yang intelektualistis. Dengan demikian aliran pendidikan perenial sejalan dengan prinsip pendidikan multiinteligensi yang ingin menumbuh-kembangkan berbagai kecerdasan (Multiple Intlegensi) secara proporsional. 

Dalam kaitannya dengan pengembangan intelektual, pendidikan perlu mengembangkan kemampuan belahan otak kiri dan belah otak kanan secara holistik-proporsional (two in one). Dengan belaha otak kiri, pendidikan mengembangkan kemampuan otak sebag gudang bahasa yang bersifat urutan, logis, teratur, dan linier; sehw pengetahuan; sedang dengan belahan otak kanan, pendidikan yang mengembangkan kemampuan otak sebagai penggunaan bahasa bersifat aktif, inovatif, kreatif, deviasi, dan holistik sebagai fungsi penggunaan bahasa dan seni. 

Baca Juga: Islam, Muslim dan Filsafat

Karena perenialisme berpandangan realitas illahi secara jelas sebagai dasar dari alam semesta dan segala isinya, maka pendidikan akan mempertanggungjawabkan kelestarian alam semet dan segala isinya. Dalam hal ini pendidikan lingkungan hidup menjadi Sesuatu penting.

Eksitensialisme VS Perenialisme

Kritik/komen Terhadap Eksistensialisme dengan Perenialisme

Aliran Eksistensialisme cenderung memberi peluang kebebasan untuk belajar bagi siswanya. Namun mengesampingkan keseimbangan antara raga dan jiwa. Jika belajar ilmu pengetahuan dapat dikatakan ranah jiwa, maka ranah raga juga sangat penting untuk diseimbangkan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan raga juga penting sebagai bentuk proporsionalitas raga dan jiwa manusia, sebagai contoh Mata Pelajaran  Olah raga. 


Sayangnya Eksistensialisme menghiraukan akan keseimbangan raga jiwa tersebut. Eksistensialisme lebih cenderung fokus terhadap moral dan kognitif sehinga sisi psikomotorik terpinggirkan. Intelegensi/kecerdasan sesorang hanya dilihat sebagian saja, tidak dilihat secara keseluruhan. Hal itu tentunya bertolak belakang dengan semangat keadilan dalam belajar. Sedangkan perenilisme dalam pendidikan dapat mengakomodir berbagai aspek kecerdasan. Prinsip pendidikan Perenialisme multiinteligensi ingin menumbuhkembangkan berbagai kecerdasan secara proporsional, yaitu: (a) kecerdasan intelektual (IQ = Intelligence Quotient), (b) kecerdasan emosional (EQ = Emotional Quotient), (c) kecerdasan sosial (SQ = Social Quootoient), (d) kecerdasan religius (RQ = Religion Quotient). 

Baca Juga: Menakar Perenialisme Sebagai Landasan Filososfi Pendidikan Indonesia

Kelemahan Perenialisme

Namun Perenialisme mempunyai kelemahan-kelemahan diantaranya: Perenialis kurang menerima adanya perubahan-perubahan, karena menurut mereka perubahan banyak menimbulkan kekacauan, ketidakpastian,dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio-kultural. Fokus perenialis mengenai kurikulum adalah pada disiplin pengetahuan abadi, hal ini akan berdampak pada kurangnya perhatian pada realitas dan minat siswa.


Penulis: Failasuf Fadli

Post a Comment for "Eksistensialisme Vs Perenialisme: Analisis dan Kritik atas Kurikulum dan Peran Guru dalam Proses Pendidikan"